Minggu, 05 Juli 2015

Skateboard (belum kelar)



Aku masih tergeletak di atas sajadah sambil memakai mukena, laptopku sudah mati. Aku melihat ke layar laptop wajahku yang masih temaram silau matahari dari arah luar kost. Semut-semut masih berserakan di atas lantai mengelilingi bungkus-bungkus biskuit bekas dua hari silam. Gelas dan percik air mengelilingi lantai. Tiba-tiba seseorang berkata “Assalamualaikum,” “Waalaikumsalam,” dua detik kaget ketika aku melihat dengan malas wajah yang mengeluarkan salam. Seluruhnya hitam legam. Busana yang cukup membuat aku kaget. Apakah ini sudah ajalku? Aku buru-buru mematung dan melihat sorot matanya yang kebingungan. “Maaf saya mengganggu. Tempat sampahnya dimana ya?” “Di samping gerbang,” “Terimakasih,” “Sama-sama”. Busana hitam itu berlalu dengan menenteng kotak berisi sampah tersebut. Meninggalkn aku dan ketakutan yang masih menggerayangiku. Dia tak lain penghuni baru kamar depan kamarku. Ditinggal wisuda penghuni lama. Pakaian seperti itu memang amat riskan di Indonesia. Ini bukan Arab. Jadi wajar saja siapapun menganggap hal tersebut ekstrem.

Besoknya aku hendak keluar untuk berangkat kuliah dan aku melihat perempuan itu lagi. Dengan warna yang sama. Hitam. “Saya Ine. Baru kost seminggu yang lalu,” “Hai Ine. Saya Uus,” “Kamu mahasiswa baru?” “Bukan. Saya angkatan 2012 kok,” “Sama dong. Jurusan apa?” “Psikologi,” “Kenal Kian dong?” “Kenal. Dia teman satu kelas saya. Kalian berteman?” “Iya dari SMP,” “Mau ujian ya, Ne?” “Iya, maaf ya kalau saya sambil baca,” “It doesn’t matter”. Kami berjalan beriringan, sesekali aku bertanya kenapa dia memilih psikologi. Ine bilang, dia mempelajari hakikat manusia diciptakan. Lama berbicara dengannya, aku kira dia perempuan yang baik. Nyaman berbicara dengannya. Dia selalu menimbulkan aura positive sekalipun orang-orang memandangnya aneh. Sepanas ini memakai baju seperti itu.

Pukul 10 pagi aku buru-buru ke fakultas Psikologi. Aku mencari sosok tinggi dan bugar berambut agak gondrong di sekitar sini. “Kian!” aku melambaikan tangan bersemangat pada Kian. Dia membalasnya. “Ragusta yuk!” “Lu yang traktir ya?” “Gampang, tapi minggu depan gantian lu yang traktir gua ketoprak Mas Pur ya?” kita berlalu menuju pondok ice cream langganan hampir seluruh anak kampus. Tempat yang enak, murah, nyaman, dan royal wi-fi.

Beberapa orang memakai cadar lewat daerah sini. Di kampus ini hanya beberapa yang memakai niqab. Jumlahnya terus meningkat. Aku jadi keinget Ine. “Yan, lu kenal Ine?” “Ine siapa?” “Temen sekelas lu,” “Setau gua anak psikologi ngga ada yang namanya Ine,” “Itu loh yang pakai cadar item-item,” “Oh Christine,” “Hah?!” “Sejak kapan dia dipanggil Ine?” Tanya Kian aneh. Aku tidak tahu tapi begitu banyak pertanyaan yang membuatku semakin penasaran dengan sosok Ine.

“Dia mualaf,” “Sejak?” “Awal perkuliahan ini. Semester terakhir juga dia belum pakai yang kayak sekarang,” “Rumahnya dimana?” “Lah, lu ngga kenal dia?” “Lah emang dia siapa?” “Trus lu kenal dia dari mana?” “Dia anak baru di kosan. Emang gua pernah ketemu sama dia?” “Masa lu lupa? Dia itu perempuan yang sering main skateboard di lapangan komplek rumah gua. Yang lu bilang dia keren, cantik, perfect,” aku mengingat kembali. Aku ngga percaya apa yang di omongin Kian. Aku ingat jelas perempuan yang disinari senja di lapangan basket yang bersebelahan dengan lapangan skateboard dan sepatu roda tanpa batas itu. “Lu bercanda ya?” “Yeh, dia ngga percaya. Lu Tanya aja ama orangnya sendiri,” “Awalnya juga gua ngga percaya sih. Dulu kan kemana-mana dia pakai kalung salib terus,”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar