Aku masih tergeletak di atas sajadah
sambil memakai mukena, laptopku sudah mati. Aku melihat ke layar laptop wajahku
yang masih temaram silau matahari dari arah luar kost. Semut-semut masih
berserakan di atas lantai mengelilingi bungkus-bungkus biskuit bekas dua hari
silam. Gelas dan percik air mengelilingi lantai. Tiba-tiba seseorang berkata
“Assalamualaikum,” “Waalaikumsalam,” dua detik kaget ketika aku melihat dengan
malas wajah yang mengeluarkan salam. Seluruhnya hitam legam. Busana yang cukup
membuat aku kaget. Apakah ini sudah ajalku? Aku buru-buru mematung dan melihat
sorot matanya yang kebingungan. “Maaf saya mengganggu. Tempat sampahnya dimana
ya?” “Di samping gerbang,” “Terimakasih,” “Sama-sama”. Busana hitam itu berlalu
dengan menenteng kotak berisi sampah tersebut. Meninggalkn aku dan ketakutan
yang masih menggerayangiku. Dia tak lain penghuni baru kamar depan kamarku.
Ditinggal wisuda penghuni lama. Pakaian seperti itu memang amat riskan di
Indonesia. Ini bukan Arab. Jadi wajar saja siapapun menganggap hal tersebut
ekstrem.
Besoknya aku hendak keluar untuk
berangkat kuliah dan aku melihat perempuan itu lagi. Dengan warna yang sama.
Hitam. “Saya Ine. Baru kost seminggu yang lalu,” “Hai Ine. Saya Uus,” “Kamu
mahasiswa baru?” “Bukan. Saya angkatan 2012 kok,” “Sama dong. Jurusan apa?”
“Psikologi,” “Kenal Kian dong?” “Kenal. Dia teman satu kelas saya. Kalian
berteman?” “Iya dari SMP,” “Mau ujian ya, Ne?” “Iya, maaf ya kalau saya sambil
baca,” “It doesn’t matter”. Kami berjalan beriringan, sesekali aku bertanya
kenapa dia memilih psikologi. Ine bilang, dia mempelajari hakikat manusia
diciptakan. Lama berbicara dengannya, aku kira dia perempuan yang baik. Nyaman
berbicara dengannya. Dia selalu menimbulkan aura positive sekalipun orang-orang
memandangnya aneh. Sepanas ini memakai baju seperti itu.
Pukul 10 pagi aku buru-buru ke
fakultas Psikologi. Aku mencari sosok tinggi dan bugar berambut agak gondrong
di sekitar sini. “Kian!” aku melambaikan tangan bersemangat pada Kian. Dia
membalasnya. “Ragusta yuk!” “Lu yang traktir ya?” “Gampang, tapi minggu depan
gantian lu yang traktir gua ketoprak Mas Pur ya?” kita berlalu menuju pondok
ice cream langganan hampir seluruh anak kampus. Tempat yang enak, murah,
nyaman, dan royal wi-fi.
Beberapa orang memakai cadar lewat
daerah sini. Di kampus ini hanya beberapa yang memakai niqab. Jumlahnya terus
meningkat. Aku jadi keinget Ine. “Yan, lu kenal Ine?” “Ine siapa?” “Temen
sekelas lu,” “Setau gua anak psikologi ngga ada yang namanya Ine,” “Itu loh
yang pakai cadar item-item,” “Oh Christine,” “Hah?!” “Sejak kapan dia dipanggil
Ine?” Tanya Kian aneh. Aku tidak tahu tapi begitu banyak pertanyaan yang
membuatku semakin penasaran dengan sosok Ine.
“Dia mualaf,” “Sejak?” “Awal
perkuliahan ini. Semester terakhir juga dia belum pakai yang kayak sekarang,” “Rumahnya
dimana?” “Lah, lu ngga kenal dia?” “Lah emang dia siapa?” “Trus lu kenal dia
dari mana?” “Dia anak baru di kosan. Emang gua pernah ketemu sama dia?” “Masa
lu lupa? Dia itu perempuan yang sering main skateboard di lapangan komplek
rumah gua. Yang lu bilang dia keren, cantik, perfect,” aku mengingat kembali.
Aku ngga percaya apa yang di omongin Kian. Aku ingat jelas perempuan yang
disinari senja di lapangan basket yang bersebelahan dengan lapangan skateboard
dan sepatu roda tanpa batas itu. “Lu bercanda ya?” “Yeh, dia ngga percaya. Lu
Tanya aja ama orangnya sendiri,” “Awalnya juga gua ngga percaya sih. Dulu kan
kemana-mana dia pakai kalung salib terus,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar