Minggu, 05 Juli 2015

Manusia Merpati (belum kelar)



Laki-laki itu selalu merebakkan warna yang dinamis tatkala siang hari. Aku selalu memperhatikan ketika dia memberi makan burung-burung dara di atas sangkar rumahnya. Aku selalu terpana kepada helaian rambut akibat sinar matahari yang hendak mengucapkan selamat berpisah. Dengan mangkuk berisi makanan merpati yang kemudian disambut kepakan sayap puluhan merpati. Kadang aku memanggilnya manusia burung. Kadang manusia merpati. Sampai detik ini belum pernah aku merasa bosan menunggu pagi dan sore tiba. Walau aku diliputi kebutaan akan sosoknya. Tentang jurusan dan universitasnya, tentang kesukaannya, tentang wanita idamannya. Untuk potongan seperti dia, aku selalu berkata pada diriku sendiri untuk sadar diri. Bangun Nim! Bahkan aku tidak tahu namanya. Tapi kehadirannya membuat aku merasa orang paling beruntung di dunia ini dan berkata jangan menyerah untuk apapun yang terjadi hari ini. Untuk berkata masih ada hari esok jika kau gagal hari ini. Seperti dia yang tidak pernah lelah memberi makan pada merpati. Sekalipun aku tahu saat pagi kau belum mandi. Demi lambung merpati yang keroncongan.

Sejak pertama kali aku ada di tempat ini, aku jatuh cinta. Saat itu aku tengah jengah dengan ketika prtama kali ku melihatnya, aku tengah jengah dengan tugas dan ujian. Tapi kepakan merpati yang tiba-tiba itu membuat aku selalu terpana melihatmu dari kamarku. Dari jendela kamarku. Aku bisa tahu, kau orang yang selalu pandai membuatku baagia. Dan sejak itu, tempat ini adalah tempat terbaik untuk ku bahagia. Posisi yang tepat untuk melihatmu menunggu matahari pergi. Dan ini satu-satunya alasan yang membuatku bertahan di tempat ini.

Ramai di Rabu pagi menyambut kos depan. Di antara mereka, manusia merpati memakai baju wisuda dan toga. Hari ini hari bahagianya. Tentu tidak buatku. Karena mulai detik ini tidak ada lagi pagi dan sore yang indah, tidak ada lagi kemilau rambut emas, tidak ada lagi kepakan merpati riuh di sore hari, tidak ada lagi kedamaian, dan tidak ada lagi cinta. 

Sore ini pertama kalinya aku merasa sakit melihat pemandangan dari jendela ini. Kandang merpati yang kusam. Kepakan sayap pasukan merpati itu tak merdu lagi. Kondisi yang memprihatinkan. Kurasa bukan hanya aku yang merindukan laki-laki itu.



Dan saat itu, sore itu tiba-tiba seekor merpati jatuh dan tak bisa saat berjalan lagi. Dia hinggap di depan kamarku. Aku melihat lukanya yang amat parah, entah karena apa. dia tidak bisa berjalan apalagi terbang. Sayapnya luka. Aku tidak tahu apakah itu dari kawanan merpati di sana. Sekuat tenaga aku beranikan diri untuk mengembalikannya.



“Permisi. Merpati ini punya kost sini? Tadi hinggap di depan kamar saya,"
Laki-laki agak gempal itu melihat sayap patahnya sang merpati.



"Sayapnya patah,!" matanya melotot dan mulai panik.



“Merpati sebanyak ini siapa yang punya?”



“Punya pemilik kost tapi dia tinggal di Padang. Jadi urusan pakan, udah di percaya sama temen saya. Eh orangnya malah wisuda. Sekarang di kasih makan sore aja udah untung. Makanya kadang di lepasin biar nyari makan sendiri,”



Aku melihat ke arah kosan ku dan bagaimana mungkin dia tidak melihatku? Sangat jelas.



“Repot nih abis dia pergi, masalahnya burung-burung ini kan butuh makan, nah cuma dia doang yang berani ama burung,”



“Eh iya, Arya,”



“Jeni,”


“Gimana kalau lu yang ngasih makan merpati ini tiap pagi sama sore?”

Aku hanya terdiam. Masih memberi makan kawanan merpati lapar.



“Tolong, Jen. Lu kan ngga jijik. Daripada ini burung pada mati ngga ke urus,”



“Gue usahain ya,”


“Tenang aja je, skrispsi lu nanti gua ketikin,"



Aku tersenyum. Sekarang aku menggantikan jabatannya. Sekarang akulah sang manusia merpati.



Sejak aku di daulat menjadi tukang beri pakan merpati, sebelum bernagkat kuliah, tiap pagi aku berkunjung ke kandang merpati. Sore selepas kuliah, aku beri mereka makan sambil mengucapkan selamat tinggal pada matahari. Kini aku paham mengapa dia begitu bahagia menghabiskan waktu di tempat ini. Angin berdesir dan kemilau matahari semakin menusuk mata. Aku hanya ingin mengucapkan jangan khawatir. Urusan perut-perut mereka, sudah ada yang menggantikanmu. Sepertinya mereka juga menyukaiku.



Tidak ada pertemuan yang abadi. Kini giliranku meninggalkan kalian. Ini saatnya aku selesai dengan merpati-merpati ini. Seandainya lebih awal bertemu kalian. Belum reda patah hati kehilangan si manusia merpati, kini aku harus merasakan patah hati kehilangan kalian.



Lima tahun sejak meninggalkan pasukan merpati, ketika aku telah berpenghasilan sendiri dan memiliki rumah sendiri, aku merakit kerajaan kecil merpati berwarna putih dan hijau. Atapnya dari triplek. Aku memulainya dengan empat ekor. Dua betina dan dua jantan. Sebelum matahari terbit, aku memberi mereka biji-bijian. Kulatih mereka terbang. Aku ingin merpatiku seperti elang. Walau tak punya cakar sehebat itu, tapi kemampuan terbangnya tak boleh di anggap remeh. Hingga satu hari aku harus menderita karena salah satu di antara mereka tak kuat untuk menelan pakan. Sekalipun hanya pelet yang besarnya tak lebih besar dari sebutir beras.



Tak ada komunitas pecinta merpati, tak ada yang bisa ku berikan keluh kesah dan hal yang membuatku bingung soal merpati. Lantas tanpa pikir dua kali, aku mencari ahli per-unggas-an yang membuka cabang di dekat sini. Ini klinik dokter hewan. Di dalamnya banyak hewan yang umum di pelihara. Aku terlihat seperti anak kecil yang hendak menukarkan merpati untuk 7 buah permen. Tanpa kandang tanpa rantai. Aku hanya membiarkan mereka hinggap di pergelangan tanganku. Sesekali ku pegang, karena kondisinya yang lemah. Tiba-tiba aku melihat anak kecil



"Sudah dua hari ini dia tidak bisa menelan biji-bijian," wajah dokter menerawang, melihat merpati ini yang begitu lemah. Dia bersedih seperti ada luka pilu dalam sanubarinya. 



"Sedikit masalah di lambungnya. Tapi bakal normal lagi dalam beberapa hari ke depan. Jangan khawatir,"



“Kenapa merpati?”



“Karena kaka ngga suka tupai,” kataku. Dia tersenyum. Mencoba mencari jawaban. 



“Mereka beruntung punya majikan kaya kamu,” Hatiku berdesir.





"Ka Jeje kenapa suka merpati?"



"Aku juga punya merpati. Di rumahku."
"Oh ya? Kamu pelihara sendiri?"
"Iya. Cuma ada 10," dan aku di tunjukki rumah yang tak jauh dari kediamannya. seketika puluhan merpati itu datang mengerubungiku. Ucapan selamat datang yang meriah. Aku tersentuh. Rumah merpati yang indah di naungi beberapa pohon yang kokoh. ada rumah minimalis di ujung pagar. mereka sengaja membuat halaman lebih besar dari rumahnya.


"Edin, kayaknya kita harus buat arisan merpati,"

"Setuju! The Edin's Friends bakal seneng banget pasti," what? The Edin's Friends?

"Sok seleb kamu din! Mereka bakal joget-joget gitu denger kamu nyanyi?"


Sore itu arisan pertama aku dan Edin dan merpati lainnya. Pantai yang tak jauh dari rumah itu kita pilih karena paling pas buat tenaga, biaya, dan kondisi merpati-merpati itu. Kami mulai mengepakkan merpati-merpati itu dan aku mengira bahwa mereka bahagia pernah medapati tempat ini. Satu persatu merpati di lepaskan dan mereka terbang tinggi. Sekawanan merpati yang bahagia bersama jingga yang mulai membias di kanvas biru. Oh Hi merpati aku selalu membayangkan kau ada di sini. Menerbangkan kami bersama.

Tiap sabtu minggu aku, edin, the edins friends arisan merpati. Edin sibuk banget dengan urusan sekolahnya. Tak terasa sudah minggu ke 7 arisan ini dilakukan. Sudah dua putaran dari jumlah merpati yang menampilkan diri. selama ini aku menganggap edin laki-laki cilik dari anak penjual pakan merpati atau burung atau ayam di pinggir jalan.


"Din, kamu suka merpati di omelin ngga sih sama ayah atau ibu kamu?"



"Enggak, kan awalnya ini burung-burung ayah, kalau dia di rumah pasti dia yang ngurus,"



"Ayah kamu suka merpati?"


"Suka, merpati itukan punya ayah. Ayah nitip ke edin karena dia ke Kalimantan,"



"Besok ayah pulang loh ka. Ka jeje besok main ke rumah edin ya?"




ia melintasi rumah edin dengan jantung berdegup. sebuah sosok yang ia lihat seperti dulu. sinar kemilaunya. desiran rambutnya. bersama edin. dan seorang wanita yang membawa kudapan dan minuman. dan dia selalu geli acap kali merpati di dekatinya. jantung ku hancur. hatiku hancur. aku pulang. dan rasanya aku tak ingin keluar lagi.





Minggu, setelah ini masih ada kejutan kah? Setelah semua yang sudah aku lalui. Bersama merpati. Aku hanya ingin menghilangkan semuanya. Menceritakan pada angin semua rahasia. Aku tahu sudah bukan saatnya mencintai laki-laki yang sampai detik ini aku tidak ketahui namanya. Dan rasanya pasir-pasir ini seakan menenggelamkanku hingga ke dasar yang paling dalam. Dari jauh suara bocah yang ku kagumi terdengar.


"Ka Jeje, kenapa ngga bareng Edin?"
"Emang arisannya udah selesai ya ka?"
"Kita kan bisa arisan merpati jilid dua, jilid tiga, dan seterusnya,"
"Ka Jeje udah ngga mau arisan merpati lagi ya?"
"Ka, sebenrnya Edin harus pindah ke Kalimantan. Edin titip The Edin's Friends ke kaka ya,"
"Ka jeje kok nangis?"
"Ka jeje jangan nangis," "Ayah pernah bilang kalau kita harus jujur kayak merpati,"
Seketika jeje menghapus air matanya dan tersenyum pada edin. menunjukan wajah tegarnya. Edin mengambil merpati dan


"Merpati-merpati itu baik-baik aja kok. tumbuh dengan semestinya dan beberapa udah ada yang puya cucu,"



"Jeni?"



"Arya cerita apa aja?"



"saya ngga tau harus bilang apa selain makasih,"



"harusnya saya yang bilang makasih. dijerumusin ke dunia per unggasan,"



"besok saya ke Kalimantan. kalau dulu saya ngga pamit, sekarang saya mau pamit,"



"pamit?"

"makasih udah jadi pengagum rahasia saya,"


"seandainya saya dulu ngga jadi pengecut..." ada apa? Kenapa air mataku tak bias tertahan? Kenapa?

“Dari merpati saya belajar, betapapun seseorang berusaha pergi, jika dia di takdirkan untuk kita, dia pasti akan kembali,” dia mengambil merpati dan melepaskannya ke atas laut.

"...dan jika dia tidak ditakdirkan untuk kita, seberapapun kita berusaha merengkuhnya, kebahagiaannya bukan bersama kita,"



matahari tak pernah sepahit saat ini. Aku tau hari ini aku harus mengulang hari terburuknya setelah 6 tahun lalu terulang kembali. menganggap jingga tak lagi sama seindah hari ini.


"Sampai saat ini saya belum pernah tau nama kamu. Saya janji ini yang terakhir saya ganggu hidup kamu,"


"Bari. Nama saya Bari,"


Bari. Ya, Bari. Nama yang selalu membuat aku merasa hidup ini teramat indah. Nama itu cukup. Cukup nama itu. Seiring dengan menghilangnya sosok laki-laki di hadapan saya. Dan aku berbalik. Aku ingin angin lebih menghempaskan wajahku dan mengeringkan setiap isak yang tertahan.




Seminggu kemudian aku mampir ke rumah itu.
"Buat arisan merpati jilid dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya," Edin titip The Edin's Friends ya Ka Jeje.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar