Minggu, 20 September 2015

Nuri

Dia melihat cahaya dan menjadi membenci kenapa dia masih hidup hari ini. sedikit kesal kenapa dia masih hidup hari ini. tubuhnya di tutupi selimut tebal dan dia mengutuk hari ini mengapa harus datang. Dia bangun dengan segenap perasannya. Waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Kelas di mulai pukul 8. Tidak terlalu terlambat. Ia sedikit bersemangat karena tinggal 6 bulan lagi ia menyelesaikan sekolah SMA. Ia tidak sabar untuk menyelesaikannya. Ia mandi dan menyelesaikan semuanya hingga keluar kamar kecil kosannya. Kebanyakan dari mereka berkuliah. Hanya dia satu-staunya yang maish SMA.




Ia menggunakan sepedah menuju sekolahnya. Hanya 3,5 kilometer. Tidak masalah. Setelahnya ia memakirkan sepedahnya. Banyak anak-anak yang memakai sepedah juga. Setelahnya saat dia masuk kelas, ia mendengar pembicaraan tiga siswi di depan tempat duduknya. “Syuting lagi?” “Yah, gimana dong? Belum kelar gue, ada tambahan lagi,” “Makin dikit aja dong waktu dugem kita?” “Sorry ya guys,” mereka tidak memerdulikan Uri yang di belakangnya. Uri yang sering lebih di pandang aneh di kelas. Mereka adalah Neli, Gina, dan Ibet.


Nuri pulang ke kosannya saat membuka pintu, dia melihat se amplop uang berisi uang lembaran 100 ribu 17 lembar. Dan sepucuk surat. ‘ATM kamu kenapa? Lusa mas ada kerjaan di Singapura. Kalau butuh lebih hubungi mas sebelum mas pergi,’. Ia ingat sudah satu bulan ini atm nya terblokir karena tak ada isinya. Dan semenjak itu ia bertahan hidup dengan cara seadanya. Makan mie, telur, kadang tak makan. Badannya kurus tapi ia tak lemah.


Ia sebenarnya tak perduli akan uang yang di terimanya. Tapi isi surat itu. Mas Catur bakal pergi satu bulan? Kakak laki-laki yang hanya berbeda 9 tahun darinya akan pergi dan ia tak tahu apakah manusia itu akan selamat sampai tujuan? Ia mencari hp nya. Susah payah. Di bawah kasur. Sudah tak aktif. Ia charge. Ia memegang buku ensiklopedianya. Ia mulai meramaikan lagi otaknya.


Hari ini ia ingin menuju bank sepulang sekolah. Tiba-tiba seorang memanggilnya “Nuri,” katanya. Nuri menengok. “Ri gua liat PR dong,” “PR apa?” “Fisika lah. Pak oman kan on time maximal,” dia membuka tas nya dan mengambil bukunya. “thank you Nuri,” ia berlagak manis dan buru-buru menyalin isi jawaban nuri. Nuri mengingat kejadian tadi saat ia bertemu laki-laki berbeda 28 tahun darinya. Bersama seorang wanita. Wajahnya semakin tua.


selepas dari singapur, mas mengajakku untuk pindah ke rumahnya. memaksakku untuk tidak usah kembali ke kamar kos ku. aku jadi sering menghabiskan waktu di atap genting rumah mas. ada genting tetangga yang terlihat jelas dr posisiku. nuri melihat rebut-ribu seekor kucing yang tak terlihat wujudnya tapi ia yakini dari balik kandang. dan kemudian muncul dengan tenang, kucing melompat dari kandang dan enyah ke genting nya dan melompat dengan lincah. dimulutnya terdapat seekor tikus putih yang sudah tak berdaya. kucing itu tak menyadari kehadiranku. bersamaan dengan itu muncul seorang wanita seusia mas catur dating. dia sedih melihat kandang itu rusak. seperti ada hal yang berharga dalam hidupnya kini di rampas.


esoknya dia bertemu dengan Latasa. wanita itu berbeda. dia kini berpakaian sederhana dengan celana tidur panjangnya. "Nuri," dia setengah berbisik. Nuri menoleh dan setengah kaget. "La, kok bias disini?" "Ini rumah kaka gua. Lah lu yang ngapain disini?" "Ini juga rumah kaka gua," "Oh gua kira ini rumah kosong. Gelep terus sih." "So, you stay away in here?" "Belum tau sih. tapi kemungkinan besar gitu," "Tumben lu ngga syuting?" "Kenapa lo harus ngingetin sih?" ia melihat jam di tangannya. ""



Seratus

Sejak kecil aku tidak pernah mendapat nilai sempurna. Semuanya seraya serempak menghinaku dengan deretan angka yang tak pernah ku harapkan. Yang tertinggi 99. Aku terus berusaha mendapatkan nilai 100. Nilai sempurna. Betapa bangganya bila mendapat nilai seratus. Jere, matematika mendapat 100. Min, 100 untuk bahasa Indonesia. Acun 100 untuk biologi. Ketika dibandingkan nilai-nilai yang aku dapatkan dengan mereka tidaklah berbeda jauh.

Bu daroh, guru ngajiku pernah berkata, kesempurnaan hanya milik Tuhan. Jika seratus adalah nilai kesempurnaan, maka aku yang hanya seorang manusia hina ini hanya pantas mendapat nilai 99. Maka aku dapat nilai 99 darinya.


Lain bu daroh, lain Pak Kasim, dia memberitahuku untuk mendapatkan nilai seratus aku harus bersungguh-sungguh belajar. Dia berkata tidak ada yang mustahil. Kalian bisa mendapat nilai sempurna jika kalian mau.


Maka aku belajar mati-matian, hamper setiap detik aku tak lepas memikirkan rumus matematika. Pulang sekolah langsung ke kamar, istirahat ke perpustakaan, jika ada yang tak mengerti langsung menyambangi rumah Jere untuk mencari jalan keluar.


Dan saat yang ditunggu-tunggu tiba, ujian dimulai, aku berjuang keras dan kurasa aku telah menjawab dengan tepat dan aku memeluk Jere. Hari yang ditunggu tiba, Pak Kasim menyambangiku dan memberikanku lembar ujianku, aku menatap wajahnya yang sumringah. Seperti menemukan mutiara yang terbenam 30 tahun. Dan ketika wajah itu menyambangi Jere wajahnya seperti menemukan mutiara 70 tahun terpendam. perasaanku tak enak. aku segera melihatnya nilai jere. dan perasaanku semakin tak enak. mutiara memang sangat indah jika semakin lama terbenam. tiga angka di ujung kertas berwarna merah di ujung kertas jere. aku teringat wajah pak kasim dan dua angka di ujung kertasku menjadi jawaban.


hari ini aku mengunjungi bu daroh. "dimana tuhan?" bu daroh yang tengah menjahit melongo mendengar jawabanku. kakinya perlahan menghentikan ayunan jahitan. "kau remedial?" "aku ingin bertemu tuhan, bu" ""


yang tidak mencapai seratus. Aku hanya mendapat nilai 99. Aku putus asa. Aku gagal lagi. Dan lili mendapat nilai seratus. Seperti yang ku duga.


Aku benci hidup ini. aku kecewa pada Tuhan. Aku tidak ingin lagi mengenal kesempurnaan. Hingga aku bertemu dengan

Forgive

Nimas masih ingat wajah-wajah yang mendominasi pemakaman sore hari. Mereka berkawan baik ketika satu sama lain mengenakan seragam putih abu-abu. Siapa yang menyangka jika antara mereka dipertemukan karena kepergian. Beberapa orang yang masih dikenalnya memeluknya. Mereka menyangka Nimas lah yang paling berduka. Hal yang sama sekali bukan di benaknya. Mata nimas seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sebuah papan nama di atas pundukan tanah. Helen.

Betapapun ia berusaha berbisik bahwa harusnya ia tak berselera untuk berduka, jauh di dalam dirinya, ada kekuatan yang mendorongnya untuk melupakan. Melupakan semua yang membuatnya harus bertemu dengan Helena dalam keadaan seperti ini. sekelebat bayangan di antara kerumunan berbusana hitam mendekati Nimas, menggenggam tangannya, dan memaksanya berbalik arah.

“Sapu tanganmu tertinggal,” Andar mengembalikan saputangan yang dipungutnya di dekat batu nisan Elena.

“Makasih,” Nimas berkata seadanya dengan senyum yang hambar. Nuril tahu bahwa ini akan sulit tapi kesempatan bertemu dengan wanita di hadapannya tak akan di sia-siakan lagi. Sementara Nimas tak berselera untuk menciptakan perbincangan dengan laki-laki yang kini berusaha berjalan menyamainya.

“Kasih saya waktu sebentar,” Andar meraih lengan Nimas yang ini tak ubahnya tulang berjalan.

“Saya harus pergi, An. Saya ninggalin banyak kerjaan di kantor. Kita bicara kapan-kapan aja,” sergapan tangan itu dienyahkannya halus. Agar tak terlihat sebagai usaha pelarian diri yang extreme. Perlahan ia melepaskan tangan itu dan kembali melangkah. Hati Andar kelu. Ia harusnya sadar mimpi itu akan menjadi nyata. Nimas melangkah sedikit gemetar. Tubuhnya kini tak ubahnya tulang kering berjalan. Sebuah pemandangan tajam menusuk hingga ke relung sanubarinya.

Rambutnya masih basah dengan wangi sampo yang kini memenuhi ruangan kamarnya. Ia menatap lekat-lekat dirinya di kaca dengan baju handuk. Jendela yang terbuka, angin leluasa mendinginkan tubuhnya. Horden biru muda berseliweran terbang. Seketika muncul ingatan akan mimpi beberapa hari terakhir. Kepedihan karena ditinggalnya lebih mendominasi perasaannya kini dibanding sakit hati. Apa maumu, Elena? ia ingat ketika Lukman mengabariku akan kejdian itu. Ia tengah penat akan kerjaan kantor dengan deadline malam ini.

Di atas genting, Nimas merenung. Bahwa apa yang terjadi dulu sepertinya jauh membuatnya bahagia. Jauh membuatnya iri dengan keadaan saat ini. Semuanya, jika bisa di putar kembali, ia hanya ingin ia tak sendiri memandangi bintang yang bertengger redup di langit. Ia benar-benar merindukan satu sosok. Tapi mengapa semuanya harus terasa mustahil bila dibandingkan dengan luka di hati. Air matanya mengalir tapi bahkan tangannya tak sanggup bergerak. Ia hanya ingin begini. Seperti ini. air mata yang dengan sendirinya pergi bersama angin malam. Dan betapa air mata itu dapat mengartikan pesannya bahwa ada kerinduan dan penyesalan yang amat sangat ingin ia ucapkan. Datanglah ke mimpiku.

Kilau matahari membuatnya tersadar. Nimas berharap Helena datang ke mimpinya semalam. Ia berharap Helena berbicara apapun. Sekalipun itu makian. Betapapun satu kata yang dia ucapkan akan membuatnya jauh merasa bahagia. Sejak kepergiannya, Nimas setiap malam tidur di atas genting. Tapi Helena tak pernah datang ke dalam mimpinya.

“Dari Andar,” Ibu menyerahkan tujuh kotak yang sudah agak lusuh ke tangannya. Kado. Dan semua kado itu di bawanya di dalam kamar. Nimas membukanya dan menerima kejutan. Hadiah ulang tahunnya yang ke 18 hingga 24 tahun. Satu persatu dia membuka. Kotak pertama, ia membuka kotak berwarna hijau. Lembaran-lembaran yang dijilid dengan tali tambang mini. Kumpulan herbarium. Halaman pertama bunga sakura, dibaliknya tertulis ‘Walau dapatnya di Kebun Raya Cibodas, tapi sakura ini ngga kalah cantik sama yang di Jepang,’. Lembar kedua mata Nimas menemukan anggrek ungu. Selanjutnya matanya berkaca-kaca menemukan bunga krisan, yang tangkainya ia buat sendiri melalui pensil warna. Terlihat rapih. Kotak kedua, membawanya pada umurnya ke 23. Miniatur sepeda kayu. Membawanya pada ingatan ukiran sepeda yang ingin sekali ia buat. Kemudian di dalam dari kotak, ada tiga foto 10r yang tertinggal. Foto pertama, ia sedang membuat. 'Namanya pak Kasim, dia yang ngajarin gue buat kayu jadi sepeda kayu. Jadi lebih tepatnya ukiran ini 80% dikerjakan gue, sisanya Pak Kasim. Semoga tambah sehat!’. Ia ingat sekali akan kenangannya menjelajah jalanan dengan sepeda mini. Melupakan waktu. Memakai seragam. Berpegangan tangan. Air matanya menetes lagi. Ia berusaha membuka kotak ketiganya. Sebuah kertas. Diatasnya tergambar wajah nya yang sedang memakai toga. ‘Selamat wisuda! Angkat togamu dan segeralah selamatkan negeri ini.’ gambar yang sangat indah. Wajahnya yang amat bahagia memakai toga yang berada di halaman media sosialnya. Kotak ke-empatnya. Berisi flashdisk. ‘Ini barang muthakir mahasiswa semester akut. Semangat skripsi." Kotak ke limanya. Berisi foto-foto. Di dalam kertas-kertas itu ada foto dirinya dan sesosok perempuan yang membuat kenangan tentang dirinya menyulut.  Kotak ke anam. Toples. Isinya burung-burung kertas lipat. ‘999 burung sampaikan rasa rinduku,’.  Ia membelikan aku celengan berbentuk paru-paru. Nimas membaca surat nya. Disana tertulis, ‘Ibaratkan koin-koin adalah gelembung udara. Semakin banyak udara, semakin baik, bukan?’. Air matanya menetes. Membayangkan bagaimana tangannya mengukir kayu, menggores pensil di atas kanvas, membuat rendaman herbarium. Air matanya mengalir. Betapa hadiah ini membuatnya semakin merasa udara semakin jauh meninggalkan paru-parunya. Nimas menundukan kepalanya mencari udara yang bisa dia temukan. Betapa kepalanya mencari alasan untuk menghindari semua ini.

Nimas membawa sekotak bunga. Sakura. Ke pemakaman. Batu nisan di sana tertulis. Helena Januarina binti Sudirman. Bukan bunga kertas, tapi sakura. Musim sakura di Januari menjadi hari pertemuan terakhir dengan Helena.

Di jembatan, Nimas bertemu Ardan. Laki-laki yang begitu dia ingin musnahkan. Sumber perpecahan. Ardan datang dan membawa luka lama. "Harusnya saya yang pergi." "Saya minta maaf," "Hadiah itu harusnya dikasih kamu tiap tahun. Tapi kamu pergi dan ibumu tidak pernah menceritakan yang sejujurnya saja apa yang terjadi,"

"Maaf," hembusan angin yang pelit kini terasa begitu ramai. Di danau tempat banyak menghabiskan waktu dulu. Nimas hanya ingin tahu, apakah jika ia mati, ia bisa bertemu dengan Helena? "Bagaimana kabar anak kalian?" tanyanya mencoba seakan tak ada yang terjadi. "Baik. Kadang masih tanya ibunya kemana," "Kamu jawab apa?" "Istirahat," jawab Ardan pelan. "Dia ngga pernah marah sama kamu," "Permintaan maaf itu buat kamu," kata Nimas pelan. Ia pergi namun ia ingin kembali. "Jangan pernah bilang saya tidak bersalah," "Manfaatnya apa?" "Supaya saya bisa tahu diri dan melupakan kamu. Supaya semuanya jelas dan selesai,!" air mata sekuat tenaga ia tahan. "Bantu saya dan. Tolong saya. Tolong saya untuk mengihklaskan semua ini. Saya lelah. Kamu tahu, sebelum Helena meninggal, dia hadir di mimpi aku dan bilang permintaan maaf. Dan dia bilang ke saya untuk menggantikan dia dalam hidup kamu. Tolong bantu saya untuk bilang itu semua hanya mimpi. Tujuh hari berturut-turut dia bilang hal yang seenaknya seperti itu," nimas mulai menangis sejadi jadinya. Ardan terkejut. Mimpi itu juga dialami oleh dirinya.


Selasa, 15 September 2015

Sebagaimana keluarga didirikan, alas an utama tercipta hanya berlandaskan cinta. Mengapa harus ada pertikaian? Hal yang sangat buruk jika terdengar oleh anak. Menyebalkan

Sabtu, 05 September 2015

Ujung Harapan

Aku pernah menderita dibawah kepemimpinan kalian. Semuanya masih terekam jelas dan menyisakan air mata, luka luar-dalam sampai detik ini. Aku begini karena banyak alasan. Dan satu-satunya alasan karena kalian terlalu munafik. Kalian masih bertahan karena alasan yang seharusnya bisa dirubah. Alasan tak masuk akal. Perampasan HAM. Aku tidak bisa kembali. Demi apapun, kenapa tidak ada yang bisa mengerti? Sampai aku yakin dengan seperti ini adalah cara yang terbaik. Aku tidak pergi, aku hanya ingin bertahan. Sadarkah kalian? Hanya dengan cara seperti ini saja aku dapat bertahan. Untuk sebuah tahun yang tidak bisa aku prediksikan. Apakah dua tahun ini tidak cukup? Dan ujung dari tulisan ini adalah harapan, supaya waktu berputar kembali dan aku ingin merubah pilihan di lembar itu. Aku ingin merobek dan membuangnya. Aku ingin hanya sekedar penikmat tapi bukan pemburu. Ketahuilah, aku benci ada di titik ini.

Dan kemudian aku sadar, angin menamparku, bahwa takdir tak bisa di rubah. Dan waktu takkan pernah bisa berputar, sekalipun satu detik sebelum tulisan ini muncul.

Kamis, 03 September 2015

Komodo, Aku Iri Padamu

Kita semua tahu bahwa komodo dapat bertahan hidup dengan memangsa binatang berprotein dan berlemak royal seperti sapi, kuda, kambing, rusa, dan kijang. Dengan air liur dan gigitannya komodo dapat melumpuhkan mangsanya. Tapi sampai saat ini belum ada penelitian yang benar-benar menunjukkan bahwa ke-58 bakteri yang terkandung dalam air liur komodo benar-benar mematikan. Seekor tikus putih pernah di uji coba, hasilnya tikus putih mati dalam satu minggu setelah lukanya di tetesi air liur komodo. Tapi apakah si tikus mati karena bakteri yang menyedot sumber nutrisinya? Atau karena faktor sekunder? Dalam satu minggu banyak hal yang dapat terjadi, seperti munculnya bakteri lain selain bakteri dari air liur komodo atau gigitan komodo (untuk hewan selain tikus) menghabiskan darah mangsanya sehingga kehabisan darah.


Mungkin seperti itulah gambaran hidup yang aku iri kan. Sekuat apapun makhluk hidup yang tak terlihat ada di mulut, tetap tidak terkalahkan.