Minggu, 20 September 2015

Forgive

Nimas masih ingat wajah-wajah yang mendominasi pemakaman sore hari. Mereka berkawan baik ketika satu sama lain mengenakan seragam putih abu-abu. Siapa yang menyangka jika antara mereka dipertemukan karena kepergian. Beberapa orang yang masih dikenalnya memeluknya. Mereka menyangka Nimas lah yang paling berduka. Hal yang sama sekali bukan di benaknya. Mata nimas seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sebuah papan nama di atas pundukan tanah. Helen.

Betapapun ia berusaha berbisik bahwa harusnya ia tak berselera untuk berduka, jauh di dalam dirinya, ada kekuatan yang mendorongnya untuk melupakan. Melupakan semua yang membuatnya harus bertemu dengan Helena dalam keadaan seperti ini. sekelebat bayangan di antara kerumunan berbusana hitam mendekati Nimas, menggenggam tangannya, dan memaksanya berbalik arah.

“Sapu tanganmu tertinggal,” Andar mengembalikan saputangan yang dipungutnya di dekat batu nisan Elena.

“Makasih,” Nimas berkata seadanya dengan senyum yang hambar. Nuril tahu bahwa ini akan sulit tapi kesempatan bertemu dengan wanita di hadapannya tak akan di sia-siakan lagi. Sementara Nimas tak berselera untuk menciptakan perbincangan dengan laki-laki yang kini berusaha berjalan menyamainya.

“Kasih saya waktu sebentar,” Andar meraih lengan Nimas yang ini tak ubahnya tulang berjalan.

“Saya harus pergi, An. Saya ninggalin banyak kerjaan di kantor. Kita bicara kapan-kapan aja,” sergapan tangan itu dienyahkannya halus. Agar tak terlihat sebagai usaha pelarian diri yang extreme. Perlahan ia melepaskan tangan itu dan kembali melangkah. Hati Andar kelu. Ia harusnya sadar mimpi itu akan menjadi nyata. Nimas melangkah sedikit gemetar. Tubuhnya kini tak ubahnya tulang kering berjalan. Sebuah pemandangan tajam menusuk hingga ke relung sanubarinya.

Rambutnya masih basah dengan wangi sampo yang kini memenuhi ruangan kamarnya. Ia menatap lekat-lekat dirinya di kaca dengan baju handuk. Jendela yang terbuka, angin leluasa mendinginkan tubuhnya. Horden biru muda berseliweran terbang. Seketika muncul ingatan akan mimpi beberapa hari terakhir. Kepedihan karena ditinggalnya lebih mendominasi perasaannya kini dibanding sakit hati. Apa maumu, Elena? ia ingat ketika Lukman mengabariku akan kejdian itu. Ia tengah penat akan kerjaan kantor dengan deadline malam ini.

Di atas genting, Nimas merenung. Bahwa apa yang terjadi dulu sepertinya jauh membuatnya bahagia. Jauh membuatnya iri dengan keadaan saat ini. Semuanya, jika bisa di putar kembali, ia hanya ingin ia tak sendiri memandangi bintang yang bertengger redup di langit. Ia benar-benar merindukan satu sosok. Tapi mengapa semuanya harus terasa mustahil bila dibandingkan dengan luka di hati. Air matanya mengalir tapi bahkan tangannya tak sanggup bergerak. Ia hanya ingin begini. Seperti ini. air mata yang dengan sendirinya pergi bersama angin malam. Dan betapa air mata itu dapat mengartikan pesannya bahwa ada kerinduan dan penyesalan yang amat sangat ingin ia ucapkan. Datanglah ke mimpiku.

Kilau matahari membuatnya tersadar. Nimas berharap Helena datang ke mimpinya semalam. Ia berharap Helena berbicara apapun. Sekalipun itu makian. Betapapun satu kata yang dia ucapkan akan membuatnya jauh merasa bahagia. Sejak kepergiannya, Nimas setiap malam tidur di atas genting. Tapi Helena tak pernah datang ke dalam mimpinya.

“Dari Andar,” Ibu menyerahkan tujuh kotak yang sudah agak lusuh ke tangannya. Kado. Dan semua kado itu di bawanya di dalam kamar. Nimas membukanya dan menerima kejutan. Hadiah ulang tahunnya yang ke 18 hingga 24 tahun. Satu persatu dia membuka. Kotak pertama, ia membuka kotak berwarna hijau. Lembaran-lembaran yang dijilid dengan tali tambang mini. Kumpulan herbarium. Halaman pertama bunga sakura, dibaliknya tertulis ‘Walau dapatnya di Kebun Raya Cibodas, tapi sakura ini ngga kalah cantik sama yang di Jepang,’. Lembar kedua mata Nimas menemukan anggrek ungu. Selanjutnya matanya berkaca-kaca menemukan bunga krisan, yang tangkainya ia buat sendiri melalui pensil warna. Terlihat rapih. Kotak kedua, membawanya pada umurnya ke 23. Miniatur sepeda kayu. Membawanya pada ingatan ukiran sepeda yang ingin sekali ia buat. Kemudian di dalam dari kotak, ada tiga foto 10r yang tertinggal. Foto pertama, ia sedang membuat. 'Namanya pak Kasim, dia yang ngajarin gue buat kayu jadi sepeda kayu. Jadi lebih tepatnya ukiran ini 80% dikerjakan gue, sisanya Pak Kasim. Semoga tambah sehat!’. Ia ingat sekali akan kenangannya menjelajah jalanan dengan sepeda mini. Melupakan waktu. Memakai seragam. Berpegangan tangan. Air matanya menetes lagi. Ia berusaha membuka kotak ketiganya. Sebuah kertas. Diatasnya tergambar wajah nya yang sedang memakai toga. ‘Selamat wisuda! Angkat togamu dan segeralah selamatkan negeri ini.’ gambar yang sangat indah. Wajahnya yang amat bahagia memakai toga yang berada di halaman media sosialnya. Kotak ke-empatnya. Berisi flashdisk. ‘Ini barang muthakir mahasiswa semester akut. Semangat skripsi." Kotak ke limanya. Berisi foto-foto. Di dalam kertas-kertas itu ada foto dirinya dan sesosok perempuan yang membuat kenangan tentang dirinya menyulut.  Kotak ke anam. Toples. Isinya burung-burung kertas lipat. ‘999 burung sampaikan rasa rinduku,’.  Ia membelikan aku celengan berbentuk paru-paru. Nimas membaca surat nya. Disana tertulis, ‘Ibaratkan koin-koin adalah gelembung udara. Semakin banyak udara, semakin baik, bukan?’. Air matanya menetes. Membayangkan bagaimana tangannya mengukir kayu, menggores pensil di atas kanvas, membuat rendaman herbarium. Air matanya mengalir. Betapa hadiah ini membuatnya semakin merasa udara semakin jauh meninggalkan paru-parunya. Nimas menundukan kepalanya mencari udara yang bisa dia temukan. Betapa kepalanya mencari alasan untuk menghindari semua ini.

Nimas membawa sekotak bunga. Sakura. Ke pemakaman. Batu nisan di sana tertulis. Helena Januarina binti Sudirman. Bukan bunga kertas, tapi sakura. Musim sakura di Januari menjadi hari pertemuan terakhir dengan Helena.

Di jembatan, Nimas bertemu Ardan. Laki-laki yang begitu dia ingin musnahkan. Sumber perpecahan. Ardan datang dan membawa luka lama. "Harusnya saya yang pergi." "Saya minta maaf," "Hadiah itu harusnya dikasih kamu tiap tahun. Tapi kamu pergi dan ibumu tidak pernah menceritakan yang sejujurnya saja apa yang terjadi,"

"Maaf," hembusan angin yang pelit kini terasa begitu ramai. Di danau tempat banyak menghabiskan waktu dulu. Nimas hanya ingin tahu, apakah jika ia mati, ia bisa bertemu dengan Helena? "Bagaimana kabar anak kalian?" tanyanya mencoba seakan tak ada yang terjadi. "Baik. Kadang masih tanya ibunya kemana," "Kamu jawab apa?" "Istirahat," jawab Ardan pelan. "Dia ngga pernah marah sama kamu," "Permintaan maaf itu buat kamu," kata Nimas pelan. Ia pergi namun ia ingin kembali. "Jangan pernah bilang saya tidak bersalah," "Manfaatnya apa?" "Supaya saya bisa tahu diri dan melupakan kamu. Supaya semuanya jelas dan selesai,!" air mata sekuat tenaga ia tahan. "Bantu saya dan. Tolong saya. Tolong saya untuk mengihklaskan semua ini. Saya lelah. Kamu tahu, sebelum Helena meninggal, dia hadir di mimpi aku dan bilang permintaan maaf. Dan dia bilang ke saya untuk menggantikan dia dalam hidup kamu. Tolong bantu saya untuk bilang itu semua hanya mimpi. Tujuh hari berturut-turut dia bilang hal yang seenaknya seperti itu," nimas mulai menangis sejadi jadinya. Ardan terkejut. Mimpi itu juga dialami oleh dirinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar