Senin, 06 Juli 2015

Maaf yang Tak Pernah Terucap

Kilatan petir tak mampu melepaskan jiwa Nimas dari belenggu mimpinya. Harapan agar mimpi dapat memberikannya kesempatan untuk bernafas lega seperti tidak akan pernah ada. Padahal mimpi adalah harapan terakhir. Karena kenyataan sudah terlampau pahit, hanya mimpi satu-satunya cara untuk percaya bahwa kebahagiaan belum punah. Lebih dari cukup untuk membuatnya percaya bahwa memang tak ada lagi kebahagiaan yang pantas untuk dirinya. Ia sudah tak sanggup melawan. Matanya terbuka dan segera menyalakan lampu kamar. Tubuhnya gemetar. Sungguh... Jangan menyiksaku seperti ini… desisnya. Keringat bercucuran membasahi rambut dan keningnya. Kini Nimas memeluk kedua kakinya yang dilipat, mencoba menahan sesak dalam dadanya di atas ranjang tidurnya. Gerombolan air mengalir dari matanya, membasahi pipinya. Menerawang jam dinding, 04.50. Masih berusaha menghapus air yang menggenang di wajahnya.

Nimas masih ingat wajah-wajah yang mendominasi pundukan itu. Mereka berkawan baik ketika masih memakai seragam putih abu-abu hingga kini. Yahsan, baru pulang dari Singapura. Penampilannya kini jauh berubah ketimbang dulu SMA, ia telah meninggalkan setumpuk komik demi meneruskan usaha properti ayahnya. Sekar, tidak terlihat kuncir pasrahnya lagi. Rambutnya kini di urai derai hitam. Tak mungkin ditemukan cabang-cabang liar di rambut seindah itu. Herlambang datang dengan lamborgininya. Arza, semua anak sekolah tahu polisi bukan cita-citanya, tapi takdir harus membawanya ketempat ini bersama seragam kepolisian yang melekat di tubuhnya. Jordan, laki-laki yang harusnya jadi tukang pukul, malah jadi ahli IT. Entah kini kacamatanya minus berapa. Janice, ia masih melanjutkan studi S2 nya di Universitas Indonesia. Tak ada pilihan selain mjd ahli hokum, keinginan orangtuanya. Aghy, baru-baru ini seorang produser mengontrak suara Aghy. Kini ia digilai semua wanita. Untung saja pemakaman ini tak ramai wartawan. Manik, perempuan yang paling terpukul atas kepergian sahabat karibnya semasa SMA. Satu sosok terakhir yang dikenalinya, membuat dada terasa sesak. Tak ada celah bagi hidrogen memasuki paru-parunya. Nuril masih sama seperti dulu. Setelah seorang pendo’a membacakan “Bahwa semua yang kembali akan kembali lagi padaNya,” dan menyuruh kami membuka buku kecil yang tadi dibagikan. Dan membaca beberapa bait harapan dan do’a secara getir. Selepas itu, Nimas melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan. Bukan untuk melarikan diri. Tak ada yang pantas untuk dibicarakan lagi pikirnya. Kepergian Elena sudah cukup menghabiskan sisa harapannya. Nimas mengukur kemampuannya, dan hatinya berkata tidak.

“Nimas!” suara itu kian mendekat. Nimas berharap Tuhan merubahnya menjadi seekor tupai. Kemudian ia akan berlari memanjat pohon-pohon jati dan melompatinya dari satu pohon ke pohon berikutnya. Hingga dirinya tak lagi di tempat ini.

“Sapu tanganmu tertinggal,” Nuril mengembalikan saputangan yang dipungutnya di dekat batu nisan Elena.

“Terimakasih,” Nimas berkata seadanya dengan senyum yang hambar. Nuril tahu bahwa ini akan sulit tapi kesempatan bertemu dengan wanita di hadapannya tak akan di sia-siakan lagi. Sementara Nimas tak berselera untuk menciptakan perbincangan dengan laki-laki yang kini berusaha berjalan menyamainya.

“Nimas, tolong dengarkan saya. Saya ingin bicara,” Nuril meraih lengan Nimas yang ini tak ubahnya tulang berjalan.

“Saya harus pergi, Ril. Saya ninggalin kerjaan di kantor. Kita bicara kapan-kapan saja,” sergapan tangan itu dienyahkannya halus. Agar tak terlihat sebagai usaha pelarian diri yang extreme. Perlahan ia melepaskan tangan itu dan kembali melangkah. Hati Nuril kelu. Ia harusnya sadar mimpi itu akan menjadi nyata. Nimas melangkah sedikit gemetar. Tubuhnya kini tak ubahnya tulang kering berjalan. Sebuah pemandangan tajam menusuk hingga ke relung sanubarinya.


Rambutnya masih basah dengan wangi sampo yang kini memenuhi ruangan kamarnya. Ia menatap lekat-lekat dirinya di kaca dengan baju handuk. Jendela yang terbuka, angin leluasa mendinginkan tubuhnya. Horden biru muda berseliweran terbang. Seketika muncul ingatan akan mimpi beberapa hari terakhir. Elena. Kepedihan karena ditinggalnya lebih mendominasi perasaannya kini dibanding sakit hati. Apa maumu, Elena? ia ingat ketika Lukman mengabariku akan kejdian itu. Ia tengah penat akan kerjaan kantor dengan deadline malam ini. “Elena meninggal, Nim. Sudah satu minggu lalu tapi jasadnya baru ditemukan,” “Jangan bercanda,” desisnya. “Sekarang kita ke pemakaman Bivak,” jantungnya seperti diguncang. Bagaimana mungkin, satu hari yang lalu ia baru mengangkat telpon dari sosok yang sama. Dan beberapa terakhir dia sering bertemu dengannya lewat mimpi. Ia melihat ponsel dan nomornya. Ini nomor telponnya. Aku masih menyimpannya. Ia penasaran dan mencoba menghubunginya. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area… The number…” sudah tak ada gunanya lagi. Aku pasti sudah gila. “Nim, ada telfon dari Nuril,” ibu berdiri di balik pintu. Nimas mengembalikan albumnya. “Bilang aku ngga ada, Bu,” wajahnya memohon. “Ibu udah terlanjur bilang kamu ada dikamar,” wajahnya putus asa. Ibunya tahu laki-laki itu pernah mengisi harinya dulu. “Halo,” “Maaf saya ganggu kamu,” hanya hembusan nafas yang bisa ia keluarkan. “Ada apa, Ril?” “Saya mau kita bicara,” “Ya, bicara saja” “Nggak disini. Besok sore di taman belakang sekolah,” hatiku tersentak. “Saya tidak janji bisa, pekerjaan kantor sedang banyak,”.
“Saya tahu kamu bakal datang,” Nuril menyerahkan satu kotak besar yang dilapisi kertas kado warna hijau muda. Warna kesukaan Nimas. “Kado ulang tahun dari Elena. yang belum pernah sempat dia kasih,”. Ia sadar ulang tahunnya ke 18. “Apapun kesalahan Elena di masa lalu, saya minta kamu memaafkannya, Nim. Ini semua kesalahan saya,” “Kalau kamu sudah bicara, saya pulang ya,” ucap Nimas sangat tak bervolume. Seperti berbisik tapi Nuril tau apa maksudnya. Nimas meninggalkan Nuril disana dengan box besarnya.
Malam itu dikamar Nimas melihatnya. Satu persatu. Dibagian atas ada benda yang sakral. Foto-fotonya bersamanya. Ukuran 10r dan isinya 18 buah. Semua serba 18. Dan yang terakhir. Tak sama sekali bernuansa 21 tp lbh mndominnkn wrna mrh muda. Wrn ksukkn Elena. “hei. Kau tau ak pny shbt gila sprt dia?” dia gila dan mirip tupai. Larinya cepat. Nilai olahraganya selalu A. Dia prnh mmbntuku mngmbl brgku yg ktggln d dlm kereta dn turun kmbli. Dgn sigap dan cepat.
Hari ini kami telah mengukir kisah. Aku tidak tahu apa namanya perasaan ini tapi aku tidak boleh mencintai laki-laki yang dicintai juga oleh sahabatku.
“Selamat ulang tahun, Tupai…!! Wuhuuu 18 tahun sudah.
Aku tahu surat ini tak akan pernah sampai kepadamu. Hrsnya aku tak usah mmbuat ini tapi aku selalu ingin repot-repot di hari spesialmu, Nim. Walau aku tahu usahaku ini hanya sia-sia. Nimas, untuk apapun yang pernah aku lakukan aku minta maaf. Aku tidak pernah berharap mencintai laki-laki yang juga ada di hatimu. Aku tidak tahu kenapa cinta ini tiba-tiba dtang.
Lusa aku pindah ke Yogya. Mungkin akan menetap disana. Aku berharap kalian baik-baik saja disana. Aku tau cintamu kepadanya mungkin melebihi cintaku. Aku belajar banyak dari dirimu, Nim.
Nimas menangis. Air matanya kian membanjiri wajahnya. Ia mengutuk dirinya sendiri. Kelu kadang kelam perasaannya seperti langit kelam dan petir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar