Kilatan petir
tak mampu melepaskan jiwa Nimas dari belenggu mimpinya. Harapan agar mimpi dapat memberikannya kesempatan untuk bernafas lega
seperti tidak akan pernah ada. Padahal mimpi adalah harapan terakhir. Karena
kenyataan sudah terlampau pahit,
hanya mimpi satu-satunya cara untuk
percaya bahwa kebahagiaan belum
punah. Lebih dari cukup untuk membuatnya percaya bahwa memang tak ada lagi
kebahagiaan yang pantas untuk dirinya. Ia sudah tak sanggup melawan. Matanya
terbuka dan segera menyalakan lampu kamar. Tubuhnya gemetar. Sungguh...
Jangan menyiksaku seperti ini… desisnya. Keringat bercucuran membasahi rambut dan keningnya.
Kini Nimas memeluk kedua kakinya yang
dilipat, mencoba menahan
sesak dalam dadanya di atas ranjang tidurnya. Gerombolan air mengalir dari matanya, membasahi
pipinya. Menerawang jam dinding, 04.50. Masih berusaha menghapus air yang
menggenang di wajahnya.
Nimas masih
ingat wajah-wajah yang mendominasi pundukan itu. Mereka berkawan baik ketika masih
memakai seragam putih abu-abu hingga kini. Yahsan, baru pulang dari Singapura.
Penampilannya kini jauh berubah ketimbang dulu SMA, ia telah meninggalkan
setumpuk komik demi meneruskan usaha properti ayahnya. Sekar, tidak terlihat
kuncir pasrahnya lagi. Rambutnya kini di urai derai hitam. Tak mungkin
ditemukan cabang-cabang liar di rambut seindah itu. Herlambang datang dengan
lamborgininya. Arza, semua anak sekolah tahu polisi bukan cita-citanya, tapi
takdir harus membawanya ketempat ini bersama seragam kepolisian yang melekat di
tubuhnya. Jordan, laki-laki yang harusnya jadi tukang pukul, malah jadi ahli
IT. Entah kini kacamatanya minus berapa. Janice, ia masih melanjutkan studi S2
nya di Universitas Indonesia. Tak ada pilihan selain mjd ahli hokum, keinginan
orangtuanya. Aghy, baru-baru ini seorang produser mengontrak suara Aghy. Kini
ia digilai semua wanita. Untung saja pemakaman ini tak ramai wartawan. Manik,
perempuan yang paling terpukul atas kepergian sahabat karibnya semasa SMA. Satu
sosok terakhir yang dikenalinya, membuat dada terasa sesak. Tak ada celah bagi
hidrogen memasuki paru-parunya. Nuril masih sama seperti dulu. Setelah seorang pendo’a
membacakan “Bahwa semua yang kembali akan kembali lagi padaNya,” dan menyuruh
kami membuka buku kecil yang tadi dibagikan. Dan membaca beberapa bait harapan
dan do’a secara getir. Selepas itu, Nimas melangkahkan kakinya menjauh dari
kerumunan. Bukan untuk melarikan diri. Tak ada yang pantas untuk dibicarakan
lagi pikirnya. Kepergian Elena sudah cukup menghabiskan sisa harapannya. Nimas
mengukur kemampuannya, dan hatinya berkata tidak.
“Nimas!” suara
itu kian mendekat. Nimas berharap Tuhan merubahnya menjadi seekor tupai.
Kemudian ia akan berlari memanjat pohon-pohon jati dan melompatinya dari satu
pohon ke pohon berikutnya. Hingga dirinya tak lagi di tempat ini.
“Sapu tanganmu
tertinggal,” Nuril mengembalikan saputangan yang dipungutnya di dekat batu nisan
Elena.
“Terimakasih,”
Nimas berkata seadanya dengan senyum yang hambar. Nuril tahu bahwa ini akan
sulit tapi kesempatan bertemu dengan wanita di hadapannya tak akan di
sia-siakan lagi. Sementara Nimas tak berselera untuk menciptakan perbincangan
dengan laki-laki yang kini berusaha berjalan menyamainya.
“Nimas, tolong
dengarkan saya. Saya ingin bicara,” Nuril meraih lengan Nimas yang ini tak
ubahnya tulang berjalan.
“Saya harus
pergi, Ril. Saya ninggalin kerjaan di kantor. Kita bicara kapan-kapan saja,”
sergapan tangan itu dienyahkannya halus. Agar tak terlihat sebagai usaha
pelarian diri yang extreme. Perlahan ia melepaskan tangan itu dan kembali
melangkah. Hati Nuril kelu. Ia harusnya sadar mimpi itu akan menjadi nyata.
Nimas melangkah sedikit gemetar. Tubuhnya kini tak ubahnya tulang kering
berjalan. Sebuah pemandangan tajam menusuk hingga ke relung sanubarinya.
Rambutnya
masih basah dengan wangi sampo yang kini memenuhi ruangan kamarnya. Ia menatap
lekat-lekat dirinya di kaca dengan baju handuk. Jendela yang terbuka, angin
leluasa mendinginkan tubuhnya. Horden biru muda berseliweran terbang. Seketika
muncul ingatan akan mimpi beberapa hari terakhir. Elena. Kepedihan karena
ditinggalnya lebih mendominasi perasaannya kini dibanding sakit hati. Apa maumu, Elena? ia ingat ketika Lukman
mengabariku akan kejdian itu. Ia tengah penat akan kerjaan kantor dengan deadline
malam ini. “Elena meninggal, Nim. Sudah satu minggu lalu tapi jasadnya baru
ditemukan,” “Jangan bercanda,” desisnya. “Sekarang kita ke pemakaman Bivak,”
jantungnya seperti diguncang. Bagaimana mungkin, satu hari yang lalu ia baru
mengangkat telpon dari sosok yang sama. Dan beberapa terakhir dia sering
bertemu dengannya lewat mimpi. Ia melihat ponsel dan nomornya. Ini nomor
telponnya. Aku masih menyimpannya. Ia penasaran dan mencoba menghubunginya.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area… The
number…” sudah tak ada gunanya lagi. Aku pasti sudah gila. “Nim, ada telfon
dari Nuril,” ibu berdiri di balik pintu. Nimas mengembalikan albumnya. “Bilang
aku ngga ada, Bu,” wajahnya memohon. “Ibu udah terlanjur bilang kamu ada dikamar,”
wajahnya putus asa. Ibunya tahu laki-laki itu pernah mengisi harinya dulu.
“Halo,” “Maaf saya ganggu kamu,” hanya hembusan nafas yang bisa ia keluarkan.
“Ada apa, Ril?” “Saya mau kita bicara,” “Ya, bicara saja” “Nggak disini. Besok
sore di taman belakang sekolah,” hatiku tersentak. “Saya tidak janji bisa,
pekerjaan kantor sedang banyak,”.
“Saya tahu
kamu bakal datang,” Nuril menyerahkan satu kotak besar yang dilapisi kertas
kado warna hijau muda. Warna kesukaan Nimas. “Kado ulang tahun dari Elena. yang
belum pernah sempat dia kasih,”. Ia sadar ulang tahunnya ke 18. “Apapun
kesalahan Elena di masa lalu, saya minta kamu memaafkannya, Nim. Ini semua
kesalahan saya,” “Kalau kamu sudah bicara, saya pulang ya,” ucap Nimas sangat
tak bervolume. Seperti berbisik tapi Nuril tau apa maksudnya. Nimas
meninggalkan Nuril disana dengan box besarnya.
Malam itu
dikamar Nimas melihatnya. Satu persatu. Dibagian atas ada benda yang sakral.
Foto-fotonya bersamanya. Ukuran 10r dan isinya 18 buah. Semua serba 18. Dan yang
terakhir. Tak sama sekali bernuansa 21 tp lbh mndominnkn wrna mrh muda. Wrn
ksukkn Elena. “hei. Kau tau ak pny shbt gila sprt dia?” dia gila dan mirip
tupai. Larinya cepat. Nilai olahraganya selalu A. Dia prnh mmbntuku mngmbl
brgku yg ktggln d dlm kereta dn turun kmbli. Dgn sigap dan cepat.
Hari ini kami
telah mengukir kisah. Aku tidak tahu apa namanya perasaan ini tapi aku tidak
boleh mencintai laki-laki yang dicintai juga oleh sahabatku.
“Selamat ulang
tahun, Tupai…!! Wuhuuu 18 tahun sudah.
Aku tahu surat
ini tak akan pernah sampai kepadamu. Hrsnya aku tak usah mmbuat ini tapi aku
selalu ingin repot-repot di hari spesialmu, Nim. Walau aku tahu usahaku ini
hanya sia-sia. Nimas, untuk apapun yang pernah aku lakukan aku minta maaf. Aku
tidak pernah berharap mencintai laki-laki yang juga ada di hatimu. Aku tidak
tahu kenapa cinta ini tiba-tiba dtang.
Lusa aku pindah
ke Yogya. Mungkin akan menetap disana. Aku berharap kalian baik-baik saja
disana. Aku tau cintamu kepadanya mungkin melebihi cintaku. Aku belajar banyak
dari dirimu, Nim.
Nimas
menangis. Air matanya kian membanjiri wajahnya. Ia mengutuk dirinya sendiri.
Kelu kadang kelam perasaannya seperti langit kelam dan petir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar